Sebuah Janji di Pelaminan
Hari itu langit seperti ikut berbahagia. Matahari bersinar hangat, tapi tidak terlalu terik. Angin pelan berhembus, membawa harum bunga melati yang menghiasi pelaminan sederhana di halaman rumah.
Aku masih ingat jelas bagaimana perjalanan ini dimulai. Dari perkenalan singkat yang tak pernah terduga, hingga akhirnya menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Banyak yang bilang, cinta itu datang di waktu yang tepat—dan aku percaya, karena kamu datang saat aku sudah siap untuk membuka hati sepenuhnya.
Hari-hari bersama penuh cerita. Ada tawa kecil saat kita saling menggodai, ada juga air mata ketika perbedaan membuat kita hampir menyerah. Tapi, justru di situlah aku belajar: cinta bukan hanya tentang rasa bahagia, melainkan juga tentang kesabaran, pengertian, dan keberanian untuk tetap bertahan.
Kini, di depan keluarga dan sahabat, aku menggenggam tanganmu erat. Ada debar yang tak bisa kusembunyikan, seolah dunia berhenti sejenak hanya untuk menyaksikan kita berjanji.
“Aku berjanji untuk selalu mendampingimu, dalam suka maupun duka,” ucapku, lirih tapi penuh keyakinan.
Matamu berkaca-kaca, dan senyummu adalah jawaban paling indah yang pernah kulihat. Saat itu aku sadar, pernikahan bukanlah akhir dari sebuah kisah cinta, melainkan awal dari perjalanan baru yang akan kita tulis bersama—hari demi hari, sampai akhir nanti.
Dan di bawah langit biru sore itu, aku tahu, aku telah menemukan rumahku: dirimu.